Pulsating Superman Logo Pointer

Senin, 13 Agustus 2012

Hisab

DALIL PENGAMALAN HISAB
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

فاَئِدَةٌ ؛ الحاَصِلُ أَنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ يَجِبُ بِأَحَدِ تِسْعَةِ أُمُوْرٍ ؛ إِكْماَلِ شَعْباَنَ ، وَرُؤْيَةِ الهِلاَلِ ، وَالخَبَرِ المُتَوَاتِرِ بِرُؤْيَتِهِ وَلَوْ مِنْ كُفاَرٍ ، وَثُبُوْتِهِ بِعَدْلِ الشَّهاَدَةِ ، وَبِحُكْمِ القاَضِي المُجْتَهِدِ إِنْ بَيَّنَ مُسْتَنَدَهُ ، وَتَصْدِيْقِ مَنْ رَآهُ وَلَوْ صَبِيّاً وَفَاسِقاً ، وَظَنٍّ بِالاِجْتِهاَدِ لِنَحْوِ أَسِيْرٍ لاَ مُطْلَقاً ، وَإِخْباَرِ الحاَسِبِ وَالمُنْجِمِ ، فَيَجِبُ عَلَيْهِماَ وَعَلَى مَنْ صَدَّقَهُمَا عِنَدَ (م ر) أى الرَّمْلِى


Faidah : Walhasil bahwa kewajiban puasa Ramadhan itu disebabkan terdapat salah satu diantara sembilan hal ;
1.     Menyempurnakan bulan sya’ban 30 hari
2.     Melihat hilal
3.     Khabar umum bahwa hilal sudah terlihat meski dari kaum kafir
4.     Keputusn dari seorang adil kesaksiannya
5.     Keputusan pemerintah dengan didasari hati-hati yang disertai penjelasan nara sumbernya
6.     Membenarkan seseorang yang telah melihat hilal, meskipun ia anak kecil atau seorang fasiq
7.     Kuat dugaan berdasarkan kehati-hatian, ini bagi orang yang sedang dalam tahanan dan tidak mutlak
8.     Khabar dari seorang hasib (tukang hitung ilmu palak) dan
9.     khabar dari tukang nujum (astronomi)

Menurut Imam Ar-Ramly keduanya (hasib dan nujum) wajib berpuasa Ramadhan atau berbuka (lebaran) atas temuan mereka dan orang-orang yang membenarkan mereka.

(Nara Sumber ; DVD Syamilah, Fiqih Asy-Syafii, kitab Bugiyatul Murtasyidin Hal. 228)

ETIKA PENGAMALAN HISAB

(مَسْأَلَةٌ : ش) رَأَىْ هِلاَلَ شَوَّالٍ وَحْدَهُ لَزِمَهُ الفِطْرُ وَيُسَنُّ لَهُ إِخْفاَؤُهُ لِلتُّهْمَةِ وَتُنْدَبُ لَهُ صَلاَةُ العِيْدِ وَهَلْ يُعِدُهاَ مَعَ النّاَسِ الأَقْرَبِ ؟ نَعَمْ

(Masalah Syin) Jika seseorang sendirian melihat hilal (atau dengan hisab) di bulan syawal maka baginya wajib berbuka (lebaran), dan disunnahkan baginya menyembunyikan buka, karena khawatir di sangka keliru, dan juga disunnahkan baginya melaksanakan shalat sunnah Idul fitri (jika sendirian tidak perlu memakai khutbah). Dan apakah ia mengulang shalat idul fitri-nya bersama orang umum terdekat ? Ya ikut (melaksanakan shalat idul fitri bersama orang umum).

وَلاَ يُصَلِّي مَعَهُ ماَ لَمْ يَرَ الهِلاَلَ بَلْ لاَ تَصِحُ إِنْ عَلِمَ وَتَعَمَّدَ وَإِلاَّ وَقَعَتْ نَفْلاً مُطْلَقاً وَحَرُمَ عَلَى غَيْرِهِ الفِطْرُ وَإِنْ وَقَعَ فيِ قَلْبِهِ صِدْقُ رَائْيِهِ

Jangan melaksanakan shalat idul fitri jika belum melihat hilal (meskipun dengan hisab), bahkan shalat idul fitri-nya tidak sah jika ia tahu dan sengaja. Sebaliknya, jika tidak tahu atau tidak sengaja maka shalat idul fitrinya menjadi shalat sunnah mutlak. Haram bagi orang lain berbuka (mengikuti dirinya yang kesalahan) meskipun hati orang lain itu membenarkannya melihat hilal.

وَأَوَّلُ شَوَّالٍ يَكُوْنُ يَوْمَ عِيْدِ النّاَسِ فيِ جَمِيْعِ الأَحْكاَمِ فَإِنْ ثَبَتَ هِلاَلُهُ قَبْلَ الزَّوَالِ فَظَاهِرٌ أَوْ بَعْدَهُ وَجَبَ الفِطْرُ وَفاَتَتْ صَلاَةُ العِيْدِ وَنُدِبَ قَضَاؤُهاَ بَقِيَّةَ اليَوْمِ حَيْثُ أَمْكَنَ وَإِلاَّ فَمِنَ الغَدِ

Awal bulan syawal ialah hari lebaran orang umum di semua lini hukum, oleh karenanya apabila hilal ditetapkan sebelum tergelincir matahari maka itu jelas (belum lebaran), namun apabila hilal ditetapkan setelah tergelincir matahari maka wajib berbuka (lebaran) dan ia tertinggal melaksanakan shalat idul fitri, akan tetapi disunnahkan meng-qodlo-nya di sisa hari tersebut (sore-nya) sekiranya memungkinkan. Jika tidak mungkin, maka keesokan harinya.

أَوْ بَعْدَ الغُرُوْبِ مِنْ قاَبِلٍ ثَبَتَ كَوْنُ اليَوْمِ الماَضِي مِنْ شَوَّالٍ بِالنِّسْبَةِ لِغَيْرِ الصَّلاَةِ وَتَوَابِعِهاَ كاَلفِطْرَةِ وَالتَّكْبِيْرِ فَتُصَلِّى مِنَ الغَدِ أَدَاءً اهـ.

Atau apabila hilal ditetapkan setelah terbenam matahari di hari kemudian bahwa hari kemaren termasuk awal syawal, ini dinisbatkan pada selain shalat idul fitri dan hal-hal terkait shalat id, seperti zakat fitrah dan takbir, maka shalat idul fitri bisa dilakukan keesokan hari-nya, dilakukan ada-an (tunai) bukan qodlo.

(Nara Sumber ; DVD Syamilah, Fiqih Asy-Syafii, kitab Bugiyatul Murtasyidin Hal. 229)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar